NEWSSTAND.ID – Jakarta— Tagar #BoikotTrans7 menggema di media sosial sejak kemarin, menyusul tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang dinilai melecehkan martabat Pondok Pesantren Lirboyo dan sosok Kyai-nya.
Narasi yang Memantik Amarah
Dalam segmen kontroversial tersebut, muncul kalimat seperti:
- “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan pondok?”
- “Kiainya yang kaya raya, tapi umatnya yang kasih amplop.”
- “Yang mencengangkan, ternyata yang ngesot itu yang ngasih amplop” — sebuah framing yang menyiratkan santri yang merendahkan diri demi amplop, sekaligus menuduh bahwa kyai menjadi “makin kaya” dari pemberian santri.
Bagi banyak pihak, penggabungan visual (santri mencium tangan, bersujud ketika menyalami kyai) dan narasi seperti itu bukanlah representasi objektif — melainkan provokatif, memuat stereotip, dan merendahkan hubungan transformatif antara santri dan kyai.
Reaksi dari Santri, Alumni, dan Tokoh NU
Gelombang kritik datang tak hanya dari warganet biasa, tetapi juga kalangan santri, alumni Lirboyo, dan tokoh Nahdlatul Ulama. Pihak alumni melalui organisasi IKLAS menyatakan kecaman keras terhadap sikap Trans7 yang “membiarkan” tayangan tersebut tanpa klarifikasi yang proporsional, dan mendesak media meminta maaf serta menarik ulang konten terkait.
Di level legislatif, Anggota DPR dari PKB meminta agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kominfo ikut menindaklanjuti. Tayangan semacam ini dianggap telah melewati batas etika penyiaran dan merendahkan simbol agama.
Beberapa pihak juga menyerukan agar tayangan tersebut dihentikan sementara, dan Trans7 diaudit atas rekaman-redaksi serta kebijakan kontrol internalnya.
Permintaan Maaf dan Evaluasi Internal
Menanggapi gelombang kritik, Trans7 mengeluarkan surat permohonan maaf resmi kepada Pondok Pesantren Lirboyo dan pihak-pihak terkait. Dalam surat itu, pihak stasiun mengakui kelalaian redaksi dalam proses penyuntingan dan verifikasi konten.
Trans7 berjanji untuk lebih berhati-hati dalam produksi konten ke depan, terutama yang berkaitan dengan lembaga keagamaan.
Pelajaran dan Tuntutan Publik
Kisah #BoikotTrans7 ini menjadi peringatan bagi media bahwa:
- Sensitivitas terhadap institusi keagamaan harus dijaga ketat — terutama saat menyentuh simbol, tradisi, dan tokoh ulama.
- Konteks budaya pesantren tidak bisa diperlakukan dengan cara “liputan kehebohan” tanpa kehati-hatian.
- Kewajiban klarifikasi dan fairness dalam pemberitaan agama menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik dan mencegah konflik sektoral.
- Transparansi redaksi dan proses editorial harus diperkuat agar tidak kembali terjadi kesalahan semacam ini. (Ytb)